Situs Buni Terbenam Minyak

on Senin, 24 November 2008

Babelan adalah harta karun. Bagi para arkeolog, kecamatan di Bekasi itu menyimpan ”permata” arkeologi yang tak ternilai di Situs Buni. Kaya akan peninggalan budaya dari masa akhir prasejarah hingga Kerajaan Tarumanegara, inilah salah satu situs tertua di Pulau Jawa yang telah berusia 2.000 tahun lebih. Babelan juga memendam minyak. Namun, minyak rupanya sulit berpadu dengan budaya masa silam. Dieksplorasi Pertamina sejak 1999, emas hitam dari perut bumi ini perlahan-lahan menghancurkan Situs Buni. Ancaman itu kian menjadi setelah Pemda Kabupaten Bekasi menetapkan Babelan sebagai kawasan industri pada 2003. Toh, sejumlah sukarelawan lokal—dan beberapa arkeolog—yang telah bersusah payah menyelamatkan situs itu selama empat dekade lebih belum menyerah. Siapa saja mereka dan apa saja upayanya untuk menyelamatkan Situs Buni di Babelan? Berikut penelusuran wartawan TEMPO, Ali Anwar.
Kemarau 46 tahun silam. Seorang pemuda kekar berkulit sawo matang menghunjamkan cangkulnya pada tanah penuh belukar di Kampung Buni, Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dogol—nama lelaki yang pada 1958 itu masih berusia 34 tahun—tengah membuat kalenan (saluran air) dari cabang Kali Bekasi menuju sepetak sawahnya yang masih perawan. Saat benaknya tengah asyik membayangkan panen padi di tengah belukar itu, dirinya terenyak. Matanya terbeliak menatap tajam benda kecil berkilauan di mulut lubang yuyu (binatang sejenis ketam). ”Kute (anting) emas!” kata Dogol mengenang. Beratnya tak seberapa, hanya 0,5 gram. Namun, siapa nyana, itulah awal dari kisah ”pena” beberapa tahun yang menghasilkan berkilo-kilogram emas dari ratusan kerangka manusia yang terkubur di perut Buni (lihat Anting Emas di Lubang Ketam). Pemburu ”harta karun” pun mencapai ribuan dari berbagai penjuru Pulau Jawa. Mereka mengalir dari Bekasi, Jakarta, bahkan Jawa Tengah. Dogol sendiri hanya memperoleh sebagian kecil emas. ”Lumayan, setiap nemu emas, bisa kebeli beras sekarung.” Penemuan Dogol di tepi lubang ketam itu boleh dikatakan membuka babak awal temuan arkeologis di Situs Buni, Babelan. Inilah salah satu situs tertua di Pulau Jawa dan kaya akan aneka peninggalan dari masa akhir prasejarah hingga masa Kerajaan Tarumanegara. Para arkeolog—antara lain R.P. Soejono—yang datang ke Babelan pada 1960 nyaris terlambat. Para pencari emas sudah menjungkirbalikkan setiap batu dan membongkar liang-liang di sawah demi impian akan logam mulia tersebut. Jadi, emas sudah pupus. Namun Soejono dan kawan-kawannya berhasil mendapatkan ratusan benda bernilai arkeologis yang tidak diburu pencari emas, seperti beliung persegi, gerabah, besi, kapak, piring, pecahan genting, dan sisa makanan. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa ”manusia Babelan masa lampau sudah mengenal sistem penguburan mayat dengan segala upacaranya,” kata arkeolog senior dari Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Prof. Dr. R.P. Soejono. Hasil uji laboratorium oleh antropolog Universitas Gadjah Mada, Teuku Jacob, menyimpulkan kerangka manusia pantai itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanosoid dan Mongoloid. Penelitian pun dikembangkan oleh para arkeolog. Sejumlah sukarelawan lokal ikut terlibat (lihat Sukarelawan Empat Dekade). Hasilnya? Ternyata kompleks kebudayaan Buni meluas di sepanjang pantai utara Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. ”Kami menyebutnya kompleks kebudayaan Buni,” kata Soejono. Atas jasa-jasa mereka, kini ratusan temuan Situs Buni tersimpan dan terawat apik di Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dan Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (lihat Metropolitan dari Masa Silam). Dengan alasan minimnya anggaran, penelitian terhadap Situs Buni pun terkatung-katung, meninggalkan benda-benda leluhur yang masih terkubur di kerak bumi. Kini, pada usia 70 tahun, Dogol masih bugar walau tak sekekar dulu. Dia masih tetap menjadi petani miskin. Tubuh kakek belasan cucu itu mulai bungkuk. Tapi ada yang tak berubah: sorot matanya yang tajam. Sementara pada 1958 dia menatap ”emas kuning”, sekarang matanya selalu terpaku pada obor api raksasa ”emas hitam” dari sumur-sumur minyak milik PT Pertamina. ”Bedanya, kalau emas kuning bisa buat makan nasi, emas hitam malah beracun,” kata Dogol. Beracun? Ya, pada pertengahan Maret lalu, puluhan warga Babelan keracunan dan beberapa di antaranya pingsan. Ratusan lainnya memilih mengungsi ketimbang mati keracunan. Minyak mentah mencemari persawahan dan membuat tanaman padi mati. ”Saya aja sampe semaput,” ujar Dogol. Gara-garanya, sumur minyak yang berjarak 200 meter dari rumahnya menyemburkan minyak belasan meter. Gas alam yang menyertainya menyergap perkampungan penduduk. ”Bau aneh menusuk hidung,” katanya. Penyebabnya, ”Tekanan gas dan minyak terlalu tinggi, tak terdeteksi,” kata Manajer Hubungan Masyarakat Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat, Sri Kustini, kepada Ali Anwar dari TEMPO, Rabu pekan lalu. Sumur minyak di Buni, yang hanya berjarak 20 kilometer dari Jakarta Utara, merupakan salah satu dari 15 sumur minyak pada Struktur Pondok Tengah dan Tambun. Sejak dieksplorasi pada 1999, Babelan menghasilkan 2.500 barel minyak per hari. Setiap hari pula 8.000 barel dikirim ke Balongan, Indramayu. Bahkan, pada Januari lalu, Pertamina mengumumkan, di Struktur Pondok Tengah ditemukan cadangan minyak 233 juta barel. ”Babelan memang amat kaya akan emas hitam,” ujar Sri. Kedua penambangan yang menggemparkan itu menunjukkan Babelan tidak hanya kaya minyak, tapi juga kaya situs prasejarah dan sejarah. Namun, dalam perjalanan ke depan, sepertinya perusahaan minyak akan mengalahkan gerakan penyelamatan Situs Buni. Secara perlahan tapi pasti, Pertamina terus menggerus dan merusak Situs Buni. Lebih-lebih, eksplorasi yang telah dilangsungkan sejak 1999 itu berjalan tanpa dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Selain dari minyak Pertamina, ancaman yang lebih dahsyat terhadap Situs Buni justru muncul dari Pemerintah Kabupaten Bekasi. Melalui Rencana Umum Tata Ruang 2003-2012, wilayah sekitar Babelan, Tarumajaya, dan Muaragembong telah ditetapkan sebagai kawasan khusus pantai utara Kabupaten Bekasi. Dengan demikian, dalam hitungan tahun, tanah persawahan dan rawa-rawa di Babalen disulap menjadi kawasan industri, pelabuhan, perdagangan dan jasa campuran, perkantoran, mal, pariwisata, perumahan, dan pergudangan peti kemas. Juga jalan tol yang menghubungkan Cikarang-Tanjung Priok. ”Kelak, Bekasi bagian utara akan ramai dan menjadi wilayah kota administratif,” kata Bupati Bekasi M. Saleh Manaf. Bagaimana nasib Situs Buni? ”Tetap kami perhatikan,” ujarnya enteng. Namun tokoh masyarakat Babelan, Abid Marzuki, pesimistis. ”Lihat saja, sepuluh tahun lagi situs Buni tertimbun beton, masyarakatnya terpinggirkan.” Persoalannya, meski hasil penelitian tentang Situs Buni sudah tersebar di berbagai buku, makalah, media massa, sampai Internet, pihak Pertamina mengaku belum tahu bahwa tanah Babelan mengandung situs kebudayaan manusia tertua di Pulau Jawa. ”Justru kami baru tahu dari TEMPO,” ujar Sri Kustini. Ini amat mengejutkan. Itu sebabnya, ”Kami tidak melibatkan arkeolog,” kata Sri. Sementara ini, pihak Pertamina hanya melibatkan para ahli di bidang perminyakan, seperti ahli geologi dan geofisika. ”Kami kan mencari minyak di kedalaman 2.300 meter,” kata Sri lagi. Sementara Pertamina terkejut akan kehadiran Situs Buni, para arkeolog yang pernah meneliti Situs Buni amat kaget karena tanah Babelan mengandung minyak. ”Saya baru tahu di sana ada minyak,” kata Soejono. Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, pun terbengong-bengong. ”Apa enggak salah, di Babelan yang penuh sawah dan kampung ditemukan minyak?” Dari ungkapan tersebut, terbukti betul tidak adanya komunikasi atau kerja sama antarlembaga dalam menyusun perencanaan sampai pengerjaan proyek pengeboran minyak. Karena itu, sebelum ”nasi menjadi bubur”, para arkeolog berharap segera dilakukan kerja sama tersebut. ”Libatkan arkeolog selama pengeboran minyak, meski hanya satu orang,” kata Soejono. Memang, Pertamina mengebor tanah sampai ribuan meter. ”Tapi, sebelum ke sana, mereka kan harus menembus bidang kami yang kedalamannya hanya tiga meter.” Selaku Presiden Asosiasi Prehistori Indonesia, Soejono juga tergerak untuk mengirimkan surat protes ke pihak Pertamina. ”Dalam waktu dekat, suratnya dilayangkan,” ujarnya. Arkeolog Universitas Indonesia, Ayatrohaedi, berharap Pertamina mencontoh negara luar yang menye-lamatkan situs arkeologi sebelum membangun proyek raksasa. Dia mencontohkan, menjelang tahun 1920, pemerintah jajahan Inggris di India menghentikan proyek pembangunan rel kereta api ketika para pekerja menemukan situs Mohenjodaro dan Harappa. ”Jalur rel kereta api dialihkan ke rute lain.” Sementara itu, di Indonesia, ”Candi Prambanan saja diinjak-injak untuk konser musik,” ujar Ayatrohaedi dengan nada sinis. Meski begitu, tak semua perusahaan mengabaikan sisa-sisa peradaban nenek moyangnya. Sebut saja PT Pupuk Sriwijaya. ”Sebelum membangun pabrik di Palembang, mereka mengundang kami,” kata Hasan Djafar. Hasilnya, situs Kerajaan Sriwijaya dapat diselamatkan. Hal serupa dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara, yang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap di Anyer dan Bendungan Asahan di Sumatera Utara. ”Kompleks percandiannya diselamatkan sebelum terendam,” ujarnya. Nah, satu hal yang menarik dalam penyelamatan Situs Buni adalah partisipasi para sukarelawan lokal. Mereka telah bergerak tatkala para arkeolog masih terpekur di laboratorium. Warga Babelan pun membentuk Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi dan Pusat Peran-Serta Masyarakat (PPM) Bekasi. Bersama Universitas Islam ’45 (Unisma), kedua organisasi itu memberikan usul kepada pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Bekasi untuk menyelamatkan Situs Buni. ”Mau tidak mau, kami harus berjuang di jalur formal,” kata Ketua Presidium PPM Bekasi, Nurhasan Ashari. Upaya tersebut mulai menampakkan hasil. Pada 2003, diselenggarakan penelitian benda cagar budaya, budaya dan adat istiadat asli Bekasi, dan bahasa Bekasi. Pada tahun yang sama, penelitian ini dibukukan dengan judul Benda Cagar Budaya Kabupaten Bekasi. Dalam buku tersebut, mereka mendesak pemerintah daerah agar segera mengeluarkan peraturan daerah tentang perawatan, perlindungan, dan pelestarian benda cagar budaya. ”Namun sampai sekarang belum direspons,” kata Nurhasan. Tak rela Situs Buni tergerus beliung-beliung logam raksasa, pekan lalu PPM Bekasi melayangkan surat protes kepada PT Pertamina di Jakarta. Dalam surat bernomor 21/PPM-Bks/Litbang/2004 itu, PPM Bekasi menuntut Pertamina agar melengkapi amdal serta memperhatikan dan melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. ”Bila tidak, Pertamina bakal kena sanksi pidana.” PPM Bekasi juga meminta agar Pertamina, selama menjalankan proses perencanaan dan produksi, ”Bekerja sama dengan para arkeolog atau lembaga arkeologi,” Nurhasan menjelaskan. Menghadapi gempuran tersebut, akhirnya Pertamina luluh juga. Mereka berjanji akan melibatkan para ahli arkeologi dalam pengeboran minyak di Babelan dan sekitarnya. ”Amat baik, agar tak terjadi benturan antarprofesi keilmuan,” kata Sri. Dengan demikian, diharapkan kebudayaan Buni bisa terangkai jernih dalam benak para bocah Babelan, kendati kini mereka harus hidup berdampingan dengan sumur-sumur yang memuncratkan minyak di atas sebuah situs berumur 20 abad lebih.

ref. Tempo majalah berita mingguan




Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 14

on Sabtu, 22 November 2008









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 13









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 12









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 11









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 10









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 9









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 8









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 7









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 6









Baca Selengkapnye......

Gallery Kaligrafi 5









Baca Selengkapnye......